Dituding Lindungi Ahok, Polisi Perlu Perjelas Sangkaan Makar

Alreinamedia.com, Jakarta – Pemerintah dan kepolisan diminta segera mengklarifikasi pidana makar yang menjerat lima tersangka yang ditangkap pada Jumat (31/3). Klarifikasi dinilai penting agar publik tidak menduga tuduhan makar hanya sebagai alat untuk kepentingan politik melindungi Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dari kecaman massa.

“Sejauh benar atau tidak ya harus diklarifikasi oleh pemerintah dan polisi. Kalau belum mampu orang akan menilai adanya perlakuan istimewa untuk Ahok. Jadi perlu klarikasi,” kata pengamat politik Univesitas Padjajaran Idil Akbar Idil kepada CNNIndonesia.com, Minggu (2/4).

Polisi menangkap Sekretaris Forum Umat Islam Muhammad Al Khaththath pada Jumat dinihari di hotel Kempinski, Jakarta. Al Khaththath merupakan merupakan pemimpin aksi 313 yang menuntut Ahok turun dari jabatannya. Dia ditahan bersama empat orang lainnya yakni Zainudin Arsyad, Irwan, Veddrik Nugraha alias Dikho, dan Mar’ad Fachri.

Idil mengatakan penjelasan polisi dalam menangkap dan menahan Al Khaththath belumlah cukup. Alasan penahanan karena tokoh garis keras itu mengeluarkan ucapan menduduki DPR/MPR untuk memperkarakan perkara makar, tidak masuk akal.

“Mereka punya kekuatan apa dibanding dengan pemerintah?” katanya.

Tudingan makar pun dialami Sri Bintang, Rachmawati, Ratna Sarumpaet dan aktivis lainnya bertepatan dengan aksi demonstrasi 2 DeseAMer 2016, yang menuntut Ahok dipenjara. Proses hukum Sri Bintang dkk setelah penetapan menjadi tersangka pun dianggap berjalan tidak jelas, seperti masa penahanan yang sangat panjang.

Baca Juga :  Gus Mus: MUI Jangan Ditumpangi Kelompok Radikal

“Kenapa begitu lama maka jadi pertanyaan. Ahok terkesan dilindungi juga sekaligus dinegasi oleh kekuatan (politik) lain. Ini soal kepentingan elit politik di Pilkada DKI,” katanya.

Dalam sebuah diskusi beberapa waktu lalu, Direktur Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Supriyadi W. Eddyono mengatakan sangkaan makar tidak serta-merta menjerat warga negara yang mengekspresikan kebebasan berpikirnya.

Supriyadi mengatakan, jika tanpa batas yang jelas dan disertai bukti yang cukup, sangkaan makar hanya akan jadi alat kriminalisasi.

“Maka tantangannya, Aanslag atau makar (serangan) harus terlebih dahulu didefinisikan secara lurus oleh Mahkamah Konstitusi (MK), bukan justru dalam proses peradilan. Harus ada judicial review di MK tentang Aanslag atau Pasal Makar,” katanya.

Sementara itu, pengamat politik dari Universitas Indonesia (UI), Boni Hargens, yang juga menjabat Anggota Dewan Pengawas LeAMaga Kantor Berita Nasional Antara, mengatakan isu makar bukan isapan jempol belaka ataupun jadi alat kepentingan politis.

Dia menyatakan rencana menggulingkan Jokowi ini harus dibaca dalam dua model yakni paham kebebasan (libertarianisme) dan paham realisme.

Baca Juga :  Presiden “Nyemplung” Saat Tanam Mangrove Bersama Masyarakat di Batam

Bagi golongan libertarianisme, kata Boni, pasal makar yang disangkakan kepada Sri Bintang dan Al-Khathathath dkk merupakan bentuk peAMungkaman dan melanggar HAM. Sementara bagi golongan realisme (Pemerintah dan kepolisian), segala potensi yang harus diwaspadai dan bila perlu ditindak secara tegas.

Boni mengatakan, pemerintah dan kepolisian sebagai pihak yang bertanggungjawab atas keamanan dan kelanjutan sebuah negara punya wewenang penuh dalam meredam setiap gejala makar. Dengan alasan ini, kata Boni, pemerintah punya dalil dan bukti yang cukup untuk menangkap Sri Bintang dan Al-Khaththath dkk.

“Ada pelanggaran moral dan HAM di sana tapi pemerintah dan polisi melihat kepentingan yang lebih jauh. Yang perlu diingat adalah ini kerja intelijen. Mereka lebih tahu bagaimana sebuah gerakan berawal saat masyarakat tidak tahu,” kata Boni.

Boni juga mengatakan proses hukum Sri Bintang dkk yang berlarut-larut juga memperhatikan sisi keadilan dan stabilitas. Adil dari segi hukum berarti seorang tersangka makar dapat meAMuktikan diri terlibat atau tidak.

Sementara segi stabilitas adalah hal mempertiAMangkan keamanan. Sri Bintang dkk yang didukung penuh Front PeAMela Islam mempunyai potensi keAMali berulah jika polisi tidak punya cukup bukti untuk menjerat mereka secara hukum. (AM/cnn indonesia)